Andre, Difabel Pecinta Puisi Asal Malang
“Hidup itu indah. Buat apa kita harus menyesal dengan keadaan kita? Allah dekat dengan orang yang sabar.” Demikian prinsip hidup yang dipegang Charles Anjas Andre, difabel asal Malang, Jawa Timur. Terlahir dengan bibir sumbing, laki-laki 20 tahun ini mengalami kelumpuhan semenjak usia 8 tahun.
Putra bungsu dari 4 bersaudara pasangan Tombik dan Winarti ini saat kecil sering sekali terjatuh akibat dari ketidakseimbangan, serta ketidakmampuan tulang-tulangnya menopang berat tubuh, hingga ia kerap mengalami patah tulang. Hasil pemeriksaan oleh dokter pun demikian, Andre mengalami osteoporosis atau pengeroposan tulang. Ayah Andre adalah seorang ahli pijat patah tulang. Setelah mengetahui penjelasan dari dokter, beliaulah yang kemudian menanganinya.
Ketika Andre duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Ia mengalami patah tulang terparah di kakinya, yang menjadikan Andre lumpuh hingga kini.
“Saat itu jam istirahat, saya sedang bermain di halaman sekolah. Tiba-tiba terdengar suara seperti kayu patah, ternyata itu kaki saya.” Ujar pemuda berambut gondrong ini. Sejak saat itu, kedua kaki Andre lumpuh total. Ini pulalah yang menyebabkan Andre tak melanjutkan sekolahnya.
Waktu-waktu yang seharusnya dilewati Andre dengan menimba ilmu di sekolah, hanya dinikmatinya dengan bermain bersama teman sebayanya. Barulah semenjak dirinya mengenal media sosial tahun 2010 silam Andre menemukan minatnya untuk berkarya, dalam hal ini menulis. Andre mulai menuangkan segala keluh kesahnya ke dalam sebuah tulisan berupa puisi. Status yang ia sandang sebagai seorang difabel tak membuatnya patah semangat dan berdiam diri, meskipun ia hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SD.
“Saya suka puisi karena bahasa yang sangat indah.” Ungkapnya. Kemudian sekitar tahun 2014, Andre mulai aktif mengikuti lomba menulis puisi secara online. Namun karena tidak adanya fasilitas penunjang berupa laptop, ia pun hanya bisa mengikuti lomba yang seringnya diadakan sebuah grup menulis di Facebook. Hingga saat ini, sudah tercatat sebanyak 5 judul buku yang memuat puisi hasil karyanya. Dua di antaranya ialah kumpulan puisi “Munajat Sunyi” dan “Puisi Dua September”
Apa yang didapatnya dari mengikuti lomba menulis puisi? “Kepuasan batin,” lanjutnya, “Kalau dari segi materi, belum ada.” Diakuinya, tak ada kendala dalam mengikuti setiap lomba. Tapi beberapa bulan terakhir, ia memutuskan berhenti. “Setelah saya pikir-pikir saya rugi jika mengikuti event. Saya tidak mendapatkan royalti hasil penjualan buku tersebut.” Sambungnya, “Tapi Insya Allah saya sedang ada proyek meluncurkan buku bekerja sama dengan salah satu sahabat dunia maya saya. Insya Allah buku yang saya tulis bersama teman saya ini akan terbit antara bulan november-desember tahun ini. Masih tahap rencana.“
Dalam kesehariannya, Andre cukup bisa mengurus dirinya sendiri mulai dari aktivitas ke kamar mandi, berganti baju hingga mencuci pakaiannya. Selebihnya, ia masih membutuhkan bantuan orang tua dan keluarga. Mereka pun ikhlas menerima keadaan Andre yang istimewa.
Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, Andre juga mempunyai harapan untuk masa depannya serta keluarga. “Saya berharap, bisa membahagiakan keluarga saya suatu saat nanti. Semoga saya bisa menjadi penulis sukses agar mampu mengangkat nama keluarga, serta mengangkat nama kaum difabel. Bahwa di balik kekurangan pasti ada kelebihan. Fisik tidak mengahalangi seseorang untuk mewujudkan mimpi.”
“Jangan mudah menyerah, jangan gampang putus asa. Ini cobaan dari Sang Maha Kuasa. Sebagai tanda Allah sangat sayang terhadap hamba-Nya. Lakukanlah apa yang kau ingin dan kau kejar. Jangan menengok ke belakang, tapi lihatlah masa depan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan mampu kita raih dengan berjuang. Man jadda wa jadda.” Pesan Andre untuk para penyandang difabel lainnya.