Pembangunan Inklusif Bagi Difabel, Apakah Mungkin?
“Tahun 2011 PBB telah meratifikasi apa yang disebut dengan UNCRPD (United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities) atau Konvensi PBB untuk hak-hak Penyandang Disabilitas. Lima tahun setelah ratifikasi CRPD tersebut, apakah Pembangunan yang Inklusif bagi penyandang disabilitas telah betul-betul terimplementasi?”
Guna mewujudkan harapan tersebut, pada tanggal 13 Februari 2016 yang lalu Konsorsium Nasional untuk Hak Difabel (KONAS Difabel) menyelenggarakan forum lokakarya dengan judul “Mewujudkan Pembangunan Inklusif Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat Sipil”. Acara ini diikuti oleh aksi jalan kaki dari Nol Kilometer bersama Difabel dan Non Difabel menuju gedung DPRD DI Yogyakarta pada tanggal 14 Februari 2016.
Acara lokakarya ini dihadiri lebih dari 75 orang yang merupakan , Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Diselenggarakan di Pusat Rehabilitasi YAKKUM sebagai organisasi yang telah lama bergerak dalam issue disabilitas, dalam forum tersebut dihadirkan 4 narasumber yaitu Hamong Santono sebagai Senior Program Officer INFIT, Agus Hanafi dari Komite Disabilitas DIY dan Risnawati Utami sebagai Direktur OHANA dan ketua KONAS Difabel juga Arshinta selaku Direktur Pusat Rehabilitasi YAKKUM
Tujuan dari diadakannya acara tersebut adalah untuk mendiskusikan status pemenuhan hak dan inklusi Difabel dalam pembangunan, serta implementasi kebijakan local dan nasional dalam menjamin penghormatan dan pemenuhan hak diabel setelah ratifikasi UNCRPD pada tahun 2011.
Khusus untuk Daerah Istimewa Yogyakarta KONAS Difabel secara khusus juga mengkritisi tentang Peraturan Daerah (PERDA) nomor 4 tahun 2012 yang dipandang masih jauh dari implementasi. Setelah penetapannya empat tahun lalu, amanat 10% ruang public masih juga jauh panggang daripada api. Jaminan Kesehatan Khusus (JAMKESUS) bagi penyandang disabilitas pun masih belum tersosialisasi secara luas dan tidak didukung ketersediaan data yang terpilah dan update.
Pada tingkat global KONAS Difabel mengapresiasi menguatnya pengakuan dan penghormatan hak Difabel dengan adanya dorongan atas pembangunan yang inklusif. Hal tersebut tertuang dalam The Sustainable Development Goals” atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Namun demikian KONAS Difabel menaruh keprihatinan yang mendalam bahwa hingga 5 tahun setelah ratifikasi UNCRPD mimpi akan kesetaraan dan pembangunan yang inklusi belum juga terealisasi bahkan mengalami kemunduran.
“Kami sangat kecewa dengan adanya wacana untuk menghapus bahasa isyarat BISINDO, ditunjuknya Kementrian Sosial sebagai satu-satunya leading sector dan belum terlihatnya langkah kongkrit yang dirasakan oleh masyarakat difabel di Yogyakarta terutama pada penambahan fasilitas umum yang aksesibel 10% setiap tahunnya” ujar Rina.
Lebih lanjut lagi Agus Hanafi menambahkan “Tidak ada lagi alasan bagi Yogyakarta untuk tidak menjadi kota yang aksesibel bagi penyandang disabilitas karena Undang-Undang yang mendasari sudah jelas dan disahkan,” ujarnya.
Hasil dari pertemuan tersebut yaitu adanya 9 pernyataan sikap yang disampaikan dalam aksi jalan kaki dari nol kilometer menuju gedung DPRD untuk menemui DPRD dan jajarannya. Ke Sembilan pernyataan sikap tersebut adalah :
- RUU perlu dibahas dalam Pansus sehingga melibatkan komisi dan semua stake holders.
- Isu disabilitas merupakan crosscutting issue bukan hanya tanggung jawab Kemensos tapi juga di lembaga presiden yang mempunyai fungsi koordinatif dengan kementrian-kementrian yang ada.
- Meminta kembali dimunculkannya Komite Nasional Disabilitas di RUU. KNDI menjadi instrument penting dalam pembangunan issue disabilitas dan dimandatkan untuk melakukan monitoring atas implementasi RUU.
- Mendorong pemerintah untuk mereplikasi model desa inklusi sebagai konsep dari Desa Hebat (Nawacita Presiden). Modeling desa inklusi telah menunjukkan hasil dimana difabel diberi kesempatan berpartisipasi dalam Musrenbang. Telah terjadi penyadaran ditingkat keluarga akan kemampuan disabilitas untuk mengaktualisasikan diri di masyarakat dan menyambungkan gerakan difabel dari grassroot ke tingkat nasional.
- Gerakan advokasi HAM yang terstruktur, sinergi gerakan dan konsolidasi komitmen jaringan diharapkan menjadi agenda penguatan KONAS dan pelibatan media akedemisi, swasta dan pihak lain.
- Pelibatan penyandnag disabilitas dalam pengumpulan dan pemutakhiran data tentang kebutuhan dan profil mereka sehingga perencanaan program ke depan diharapkan lebih inklusif dan lestari.
- Sosialisasi Perda no.4 harus sampai ke desa/kelurahan dan lurah/kades harus mensosialisasikan ke warganya serta memonitoring pelaksanaannya dalam koordinasi oleh Komite Disabilitas DIY.
- Optimalisasi keberadaan Komite Disabilitas DIY dengan penyediaan anggaran yang sesuai dengan tugas dan peran yang dimandatkan dalam Perda no.4 tahun 2012.
- Mengoptimalkan fungsi pengawasan DPRD terkait pelaksanaan Perda DIY No 4 Tahun 2012 dan peraturan turunannya.