Anak Tuna Rungu dan Seni

Anak Tuna Rungu dan Seni

Aktivitas Deaf Art CommunitySecara fisik anak tuna rungu tidak berbeda dengan anak lainnya, perbedaannya hanyalah anak tuna rungu tidak dapat mendengar dan kesulitan untuk berbicara, bahkan kemungkinan komunikasi yang dilakukan menggunakan bahasa isyarat.

Gangguan pendengaran yang dialami anak tuna rungu dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan komunikasi anak baik untuk mengirimkan atau menerima pesan. Untuk menambah kosa kata pada anak tuna rungu, sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan mengembangkan metode unik, yaitu menggunakan musikalisasi puisi.

Sinta Munika salah seorang mahasiswa yang turut terlibat dalam project ini mengatakan musikalisasi puisi sebagai media untuk menambah kosakata pada anak tuna rungu sekaligus untuk meningkatkan nilai-nilai kehidupan. “Dasarnya anak tunarungu mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari diakibatkan rasa malu dengan keadaan pada dirinya. Diharapkan ketika mereka berlatih mengucapkan kata puisi, mereka mau belajar dan mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari,” kata Sinta.

Metode yang mereka gunakan adalah latihan vocal dan membaca puisi secara beulang – ulang agar kemampuan bicaranya lebih jelas. Metode musikalisasi yang pernah  mereka lakukan di SLB Bina Widya Bantul  ini menggunakan metode dengan cara meminimalkan penggunaan bahasa isyarat. Menurutnya, anak tunarungu memiliki kebiasaan menggunakan bahasa isyarat ketika berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pelatihan ini, anak dituntut untuk mengucapkan sebuah kata dalam membaca puisi.

“Dengan belajar mengucapkan secara terus menerus, kemampuan bicara yang dimiliki anak tuna rungu dapat meningkat. Sedangkan terapi music bagi penderita tuna rungu, berfungsi untuk memaksimalkan sisa pendengaran yang dimiliki baik  melalui suara alat musik, dan intonasi suara yang berbeda,” tambah Sinta.

Bagi anak-anak tuna rungu, keterbatasan input pendengaran tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk mendengar suara percakapan dari orang lain, namun juga mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan bahasa mereka sendiri.

Keteraturan memperdengarkan bahasa melalui pendengaran, memberikan informasi penting mengenai vocabulary, (kalimat), semantics (arti kata) dan pragmatics, yang mana hal ini secara langsung diterima oleh anak dengan pendengaran normal. Tanpa keteraturan mendengarkan ini, bagi anak dengan pendengaran terbatas biasanya akan mempunyai banyak problem pada bahasa mereka.

Kesulitan itu biasanya terdapat pada kurangnya perbendaharaan kata, kesulitan dalam mengartikan kata, menggunakan kata yang salah, struktur dan isi bahasa yang salah, dan lainnya. Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan bahasa ini selanjutnya akan menghalangi individu tersebut dari komunikasi yang mempunyai arti dan juga berinteraksi. Problem berbahasa dapat menimbulkan efek negatif pada pendidikan seperti membaca, menulis dan pemahaman. Secara signifikan terapi musik memberikan konstribusi pada kemampuan untuk berkomunikasi dan berbahasa pada pasien tuna rungu.

Selain pembelajaran melalui musikalisasi puisi, di Yogyakarta ada beberapa komunitas yang mengajak anak tuna rungu untuk belajar seni. Salah satunya adalah komunitas Deaf Art Community (DAC). Bertempat di Langenarjan Lor , tempat ini merupakan rumah kedua atau bahkan surga bagi orang-orang tunarungu untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam diri mereka masing-masing. Tempat ini juga merupakan tempat mereka untuk saling berbagi serta berinteraksi.

Koordinator DAC, Broto mengatakan komunitas yang berdiri sejak tahun 2004 ini memiliki banyak kegiatan yang tidak jauh dari hal yang berbau kesenian. Mereka diajari untuk melukis, membuat kerajinan tangan, dan menari. Komunitas ini latihan secara rutin setiap minggu sore di Taman Budaya Yogyakarta.

Menurutnya dengan melukis atau membuat kerajinan tangan, anak – anak tuna rungu tidak minder dan dapat mengapresiasikan keinginan yang selama ini tidak bisa mereka salurkan. “Dengan seni kita tidak mempunyai bahasa, entah itu bahasa isyarat atau bahasa yang sering dipakai kebanyakan. Itu yang membuat kami tidak beda dengan yang lainnya,” pungkas Broto.

Sumber gambar : http://youthyakarta.com/wp-content/uploads/2015/11/DAC-1.jpg

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *